1. Penerapan
Pancasila Pada Masa Orde Baru
Babak baru dalam sejarah perjuangan
bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama. Sebuah
kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara
murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah
dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyelewengkan Pancasila serta
menyalahgunakan UUD 45 untuk kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun
suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Ode Baru. Nama itu dipilih untuk
menunjukan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang
bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila
dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.
Salah satu agenda besar adalah
menghilangkan kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang menjadi
warisan masa lalu dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada
kekaryaan. Ideologi kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih
jelas dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya dianggap bermain pada tataran
ideologis, tanpa sesuatu karya yang nyata bagi rakyat banyak.
Untuk itu diperlukan stablitas
politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara kongkrit
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya dalam tataran politik
misalnya adalah menciptakan sistem politik yang menegarakan semua organisasi
sosial dan politik dengan tujuan agar tercapai stabilitas politik. Politik yang
stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian yang kacau akibat
ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintah Orde
Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD 45 dan mencoba membuat
garis pemisah yang jelas antara apa yang disebut supra-struktur politik
(kehidupan politik pada tataran negara) dan infra-struktur politik (kehidupan politik
pada tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-struktur politik, lembaga-lembaga
negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi
lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Orde
Lama.
Sementara itu, dalam perspektif
politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi kehidupan
kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi kekaryaan dengan nama
Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi
masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh
kemenangan lebih dari 60% dari popular vote. Kemenangan tersebut di samping
karena Golkar dijagokan oleh pemerintah,
masyarakatpun sudah jenuh dengan
permainan politik para elit yang dirasakan tidak pernah mengerti kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan
seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik. Pemilu yang
berlangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara memihak
kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui partai yang berkuasa
selalu memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap
pemilihan umum.
Sejalan dengan semakin dominannya
kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 45 tidak banyak berbeda bila
dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua pemerintahan selalu
menempatkan Pancasila dan UUD ˜45 sebagai benda keramat dan azimat yang sakti
serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai
ideologi terbuka, serta UUD 45 sebagai landasan konstitusi berada di tangan
negara. Penafsiran yang berbeda terhadap kedua hal tersebut selalu diredam
secara represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan demikian,
jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau
subversif.
Dalam pada itu, penanaman
nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya,
bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para
pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan
serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur
bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna
apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan melalui
metode indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya
perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap
nilai-nilai Pancasila.
Cara melakukan pendidikan semacam
itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi
nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4
atau PMP ( Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila
tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner
tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato
dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka
katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para
pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat)
tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin.
Retorika persatuan kesatuan
menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan. Uniformitas
menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral.
Seluruh tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa
adanya. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan
secara intensif.
Pelajaran yang dapat dipetik
adalah, bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang dibentuk secara unilateral
tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya dilakukan secara
sepihak dan doktriner serta tanpa keteladanan selain tidak akan memperkuat
bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral generasi muda. Sebab,
pendidikan semacam itu hanya menyuburkan kemunafikan.
Pengalaman pahit yang pernah
dilakukan pada masa Orde Lama dalam memanfaatkan Pancasila yang hanya retorika
politik dan sebagai instrumen menggalang kekuasaan ternyata diteruskan pada
masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama Pancasila dimanipulasi
menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber
dari tiga aliran yaitu nasionalisme, komunisme dan agama; sedangkan pada masa
Orde Baru Pancasila disalahgunakan sebagai ideologi penguasa untuk memasung
pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat masyarakat dengan dalih menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa Orde Lama ancaman bangsa dan negara
adalah neo-kolonialisme, pada zaman Orde Baru ancaman terhadap bangsa dan
negara adalah komunisme. Namun pada dasarnya, dalam pespektif politik keduanya
sama dan sebangun yaitu bagaimana menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai
instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan pada seorang pemimpin.
Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar
Revolusi, pada zaman Orde Baru di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang
semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan
mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap
salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendaknya.
2.Penerapan Pancasila Pada Masa Reformasi
Memahami peran
Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan
ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara
konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif
sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana
politis maupun akademis.
Semenjak
ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah
mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia
(Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar
negara dalam tiga tahap yaitu :
(1) tahap 1945
– 1968 sebagai tahap politis,
(2) tahap 1969
– 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan
(3) tahap 1995
– 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila.
Penahapan ini
memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan
penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu :
(1) 1945 – 1949
masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ;
(2) 1949 – 1950
masa konstitusi RIS ;
(3) 1950 – 1959
masa UUDS 1950 ;
(4) 1959 – 1965
masa orde lama ;
(5) 1966 – 1998
masa orde baru dan
(6) 1998 –
sekarang masa reformasi.
Hal ini patut
dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari
segi hukum.
Di era
reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang
sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah
umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila
sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari
kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini,
Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap
menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti
globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat
penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan
segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang
diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Di era
reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari
pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila
pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru
dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa
lalu bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pancasila“.
Jadi sulit
untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila.
Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk
berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa
jadi orang yang berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak
muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan
dengan Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan
Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang
diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila.
Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan
nasionalis tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen
mahasiswa memilih syariah sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih
aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5
persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan
hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain,
rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk “malu-malu” terhadap
Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai
pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata
Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap
pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila Menarik sekali
pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih
memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim
Reformasi tampaknya ogah
dan alergi bicara tentang
Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkan
Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan
tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila
sebagai ideologi kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan
otoritarianisme Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit
membicarakan kembali Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana publik.
Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila.
Kuntowijoyo memberikan
pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi
Pancasila
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa
rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya benar. Pernyataan
tegas dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah
dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan
MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai
dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen kenegaraan lainnya adalah
Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan
bahwa dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke
depan perlu secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 tidak lagi diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini,
Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang
bertajuk "Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan
Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila meminta semua pihak
untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena
berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
telah menetapkan secara prinsip
Pancasila sebagai dasar negara
Berdasar uraian di atas
menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa tetap
menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde
sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan
Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan
menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim
dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian
memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu
dalam kehidupan bernegara ini.